Wah, Di Jepang Ada Sekolah Khusus Maskot
Jika anda pernah berkunjung ke taman hiburan atau festival, maka anda pasti pernah menjumpai maskot alias orang yang memakai kostum lucu, misalnya kostum hewan dengan kepala yang kebesaran. Walaupun terkesan remeh, keberadaan maskot bisa membuat suasana di tempat tersebut terasa kian semarak.
Pasalnya selain bisa menarik perhatian orang-orang dengan penampilannya yang lucu, maskot juga bisa berinteraksi langsung dengan anak-anak dan membuat pengunjung lain merasa kian betah untuk berlama-lama di lokasi. Sahabat anehdidunia.com maskot juga bisa menjadi cara bagi suatu perusahaan untuk memperkuat kesan positifnya di mata konsumen karena penampilan maskot yang lucu dan khas diharapkan bisa membuat konsumen lebih mudah mengingat segala hal terkait maskot tersebut.
Ide mengenai penggunaan maskot sekarang sudah banyak dipraktikkan di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Jepang. Bahkan saking seriusnya Jepang dalam mengembangkan maskot profesional, negara ini sampai memiliki sekolah maskotnya sendiri. Dan Sekolah Aktor Maskot Choco Group adalah sekolah yang dimaksud.
Sekolah Aktor Maskot pertama kali didirikan pada tahun 2005. Letaknya ada di Tokyo sebelah barat. Sesuai dengan namanya, sekolah ini memang dikelola oleh jaringan perusahaan yang bernama Choco Group. Sejauh ini, Sekolah Aktor Maskot Choco Group menjadi satu-satunya sekolah khusus maskot yang ada di Jepang.
Maskot atau yurukyara memiliki peran yang amat penting di Jepang. Hampir setiap instansi dan perkumpulan memiliki maskotnya masing-masing. Mulai dari kota, perusahaan swasta, kantor pajak, dan bahkan penjara. Saat ada festival tertentu semisal pawai, melihat segerombolan maskot berjalan sambil berarak-arakan bukanlah hal yang aneh.
Bukan hanya anak-anak yang tertarik akan maskot. Mereka yang sudah dewasa pun tertarik untuk menyalami maskot atau mengajak foto bareng. Dengan melihat begitu tingginya popularitas maskot di Jepang, bukan hal yang mengherankan jika kemudian di Jepang sampai ada sekolah khusus maskot.
Menurut Choko Ohira yang berprofesi sebagai guru di sekolah ini, demam maskot mulai melanda Jepang pada permulaan tahun 2000-an setelah lembaga-lembaga daerah menggunakan maskot sebagai sarana untuk mempromosikan proyek mereka. Sejak itulah, maskot menjadi hal yang kian diminati oleh masyarakat Jepang.
Saking populernya, lomba antar maskot berskala nasional pun sampai digelar di Jepang. Pada turnamen maskot yang digelar pada tahun 2017 misalnya, ada lebih dari 1.100 maskot dari berbagai penjuru Jepang yang ikut serta dalam turnamen ini. Sementara dalam turnamen serupa yang digelar di tahun berikutnya, jumlah maskot yang ikut serta mencapai 909 maskot.
Walaupun banyak, jumlah maskot yang mengikuti turnamen tersebut ternyata baru secuil dari seluruh maskot yang ada di Jepang. Menurut taksiran ilmuwan Masafumi Hagiwara, ada setidaknya 10.000 maskot di seantero Jepang, di mana sebanyak 4.000 di antaranya adalah maskot milik lembaga pemerintah daerah.
Saking antusiasnya instansi-instansi pemerintah dalam menggunakan maskot, Menteri Keuangan Jepang pada tahun 2015 sampai meminta supaya jumlah maskot dikurangi agar anggaran yang tadinya digunakan untuk maskot bisa dialihkan untuk keperluan lain yang lebih penting.
Dampaknya, sejumlah prefektur pun mengurangi jumlah maskotnya sesuai dengan anjuran Menteri. Di Prefektur Osaka misalnya, jika pada awalnya jumlah maskot yang mereka miliki mencapai 92 maskot, pada tahun 2015 jumlahnya turun menjadi tinggal 72 maskot. Meskipun begitu, ketertarikan rakyat Jepang akan maskot tetap tidak berkurang.
Ohira sendiri dulunya pernah bekerja sebagai maskot. Selama kurang lebih 10 tahun, ia pernah memerankan Porori, maskot tikus bajak laut yang muncul dalam acara keluarga Okaasan to Isshomi (Dengan Ibu). Sahabat anehdidunia.com setelah tidak lagi memerankan Porori, Ohira kemudian mendirikan sekolah khusus maskot ini untuk membantu mencetak maskot-maskot generasi berikutnya.
Walaupun nampaknya sepele, menjadi maskot ternyata tidaklah semudah kelihatannya. Pasalnya maskot umumnya tidak diperbolehkan berbicara sepatah kata pun. Kalaupun ada maskot yang berbicara, maka dia harus pandai-pandai membuat suaranya terdengar menggemaskan. Maskot-maskot tertentu juga memiliki gerakan dan tarian khas supaya orang-orang jadi semakin terpikat dengan maskot tersebut.
Kostum maskot juga menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang masih baru dalam bidang ini. Pasalnya saat menjadi maskot, orang tersebut harus mengenakan kostum tertutup yang lumayan berat dan bagian dalamnya terasa sempit. Oleh sebab itulah, diperlukan latihan khusus supaya seseorang bisa tetap terlihat enerjik saat mengenakan kostum maskotnya.
Kirsty Bouwers selaku kontributor situs Atlas Obscura menjelaskan bagaimana rasanya menjalani latihan di sekolah maskot. Mula-mula, mereka akan melakukan latihan pemanasan dan peregangan layaknya orang-orang yang hendak berolah raga. Sesudah itu, mereka mulai diajari gerakan-gerakan tarian dasar. Baru sesudah itu mereka mengenakan kostum maskot sambil menjalani gerakan tarian yang sudah mereka pelajari sebelumnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah dengan melihat begitu banyaknya maskot yang ada di Jepang, apa motivasi orang yang ada di balik kostum maskot tersebut untuk menjadi maskot? Apakah alasannya semata-mata karena maskot banyak diminati di Jepang?
Bagi banyak orang, menjadi maskot berarti memberikan kegembiraan bagi orang lain. Ada kebahagiaan tersendiri bagi seorang maskot ketika ia melihat orang lain – khususnya anak-anak – tersenyum bahagia saat berada di dekatnya.
Ada juga yang menjadikan profesi maskot sebagai ajang pelarian dari rutinitas dunia nyata yang membosankan. “Saya senang melakukan sesuatu yang tidak bisa saya lakukan dalam kondisi normal,” kata Yuko Mura, salah seorang murid di Sekolah Aktor Maskot yang juga bekerja paruh waktu di restoran cepat saji.
“Saat anda berada dalam keadaan biasa, tak seorang pun akan datang dan berbicara kepada anda. Namun begitu anda mengenakan kostum maskot, orang-orang – termasuk orang dewasa – akan mendatangi anda dan ingin bersalaman dengan anda,” sambungnya.
Ohira secara terpisah menjelaskan kalau maskot bisa menjadi cara untuk bersikap lebih intim kepada orang lain tanpa harus dibatasi oleh norma-norma yang berlaku. Ia menjelaskan kalau dalam budaya sehari-hari masyarakat Jepang, bersalaman atau berpelukan bukanlah hal yang lazim dilakukan oleh orang-orang yang belum begitu akrab satu sama lain. Untuk menunjukkan rasa hormat satu sama lain, orang-orang Jepang lebih suka melakukannya dengan cara membungkuk atau sesekali melambaikan tangan.
“Namun maskot bebas berpelukan. Mungkin itu pula sebabnya kenapa selain anak-anak, orang dewasa juga tertarik akan maskot. Karena maskot melambang sesuatu yang bisa disentuh dan dirasakan. Sesuatu yang normalnya tidak orang-orang dapatkan dalam kondisi biasa. Maskot bersikap sangat terbuka dan bakal memeluk siapapun, termasuk orang-orang tua, lewat cara yang normalnya tidak akan dilakukan oleh orang biasa,” jelas Ohira.
Untuk alasan serupa, maskot umumnya ditampilkan menyerupai hewan supaya orang-orang yang melihatnya menganggap maskot tersebut bak hewan peliharaan. “Saat anda dipeluk oleh maskot, anda merasakan perasaan nyaman, gembira. Mungkin sama seperti ketika anda membelai kucing,” terang Ohira.
Penjelasan Ohira tersebut senasa dengan penjelasan dari Akihiko Inuyama yang pernah menulis buku mengenai maskot. “Mereka seperti hewan peliharaan karena walaupun anda bukanlah orang yang lancar berkomunikasi, mereka tetap akan menerima anda. Anda tidak perlu khawatir akan pertengkaran karena mereka akan tetap menerima anda apa adanya,” jelas Inuyama seperti yang dikutip oleh The Straits Times.
referensi :
https://www.straitstimes.com/asia/east-asia/in-mascot-crazy-japan-one-can-learn-the-craft-at-the-mascot-actors-school
https://www.atlasobscura.com/articles/japanese-mascot-school