Rahasia Kopi Brazil Ternyata Proses Pembuatannya Dibantu Oleh Semut
Jika anda merupakan penggemar kopi, maka anda pastinya tahu seputar kisah di balik pembuatan kopi luwak. Untuk membuat kopi yang satu ini, seekor luwak akan diminta memakan buah kopi. Saat luwak tersebut buang air besar, biji kopi yang keras akan keluar bersama dengan tinjanya. Biji kopi ini kemudian dibersihkan sebelum kemudian diolah untuk menjadi bahan pembuat minuman kopi.
Bukan hanya luwak yang dimanfaatkan oleh manusia untuk membuat kopi dengan cita rasa tertentu. Semut pun ternyata juga bisa dimanfaatkan untuk membuat kopi. Yang menarik, kisah di balik penemuan kopi semut ini ternyata terjadi secara tidak sengaja. Bagaimana kisah lengkapnya?
Joao Neto adalah seorang petani kopi yang tinggal di negara bagian Sao Paolo, Brazil. Seperti halnya petani yang lain, Neto awalnya menggunakan pestisida untuk membasmi hama, serta pupuk kimia untuk merangsang produktivitas kopinya. Selama puluhan tahun, ia mengelola lahan perkebunannya dengan cara tersebut.
Namun belakangan, Neto mengubah pola bertaninya menjadi lebih ramah lingkungan. Ia tidak lagi menyemproti tanamannya dengan pestisida. Sebagai akibatnya, serangga-serangga hama seperti kumbang, jangkrik, dan semut pun mulai bermunculan kembali di lahan perkebunannya setelah absen sekian lama.
Kemunculan serangga-serangga tadi kerap dianggap sebagai bencana bagi petani pada umumnya. Namun tidak demikian halnya dengan Neto. Sahabat anehdidunia.com ia sudah menduga kalau serangga hama bakal kembali berdatangan dan menanggapi kemunculan mereka dengan santai. Baginya, itu adalah bagian dari siklus keseimbangan alam yang harus dilestarikan setelah sebelumnya nyaris musnah akibat makin banyaknya lahan liar yang beralih fungsi menjadi perkebunan kopi.
Neto memiliki alasannya sendiri untuk mempertahankan pola pikirnya tersebut. Kendati keputusannya menghentikan penggunaan pestisida menyebabkan serangga-serangga hama kembali bermunculan, hewan-hewan lain yang dulunya tidak nampak di ladang kopi kini juga mulai bermunculan. Burung-burung terdengar bernyanyi setiap pagi. Lebah-lebah terlihat beterbangan untuk menyerbuki bunga dan memakan nektar.
Joao Neto |
Keputusan Neto ini juga menimbulkan efek samping lain yang tidak ia duga. Pada awalnya saat ia sedang berjalan-jalan di ladang kopinya, ia menemukan kalau -semutsemut terlibat berkerumun di tanaman kopinya. Awalnya Neto cuek saja dan tidak mencoba membasmi kawanan semut tersebut.
Waktu berlalu, kemunculan semut-semut ini akhirnya mulai menarik perhatian Neto. Ia melihat biji-biji kopi berserakan di sekitar sarang semut. Ternyata semut-semut tersebut berkumpul di tanaman kopi untuk memetik buahnya, membawa buahnya ke sarang, dan kemudian menggunakan daging buahnya sebagai makanan.
Karena biji kopi terlalu keras untuk dicerna, semut pun membuang biji-biji kopi tersebut di luar sarangnya. Sahabat anehdidunia.com saat Neto memeriksa biji-biji kopi di sekitar sarang semut yang ditemukannya, ia memutuskan untuk memungut biji-biji kopi tersebut karena kebetulan jumlahnya cukup banyak untuk diolah menjadi bubuk kopi. Ia ingin tahu apakah biji kopi yang berasal dari sisa makanan semut ini memiliki perbedaan dengan biji kopi biasa.
Neto kemudian menceritakan temuannya ini kepada Katsuhiko Hasegawa, teman Neto asal Jepang yang sudah menjadi pelanggan kopinya sejak tahun 1990-an. Seusai mendengar ceirta Neto tersebut, Hasegawa lantas merasa penasaran dan berminat untuk mencicipi “kopi semut” ini. Maka, Hasegawa pun kemudian mengolah sendiri beberapa kilogram biji kopi yang didapatnya dari Neto.
Setelah selesai mengolahnya menjadi bubuk kopi, Hasegawa kemudian membuat beberapa cangkir kopi sekaligus supaya keluarga dan teman-teman dekatnya juga bisa ikut mencobanya. Ekspresi penasaran sekaligus cemas nampak di wajah mereka. Wajar-wajar saja, pasalnya baru kali ini mereka meminum kopi yang proses pembuatannya melibatkan semut liar.
Saat mereka sudah selesai mencoba kopinya masing-masing, mereka memberikan tanggapan yang beragam. Ada yang berkomentar kalau kopinya terasa lebih masam. Ada pula yang berujar kalau kopinya terasa seperti kopi aroma melati. Namun mereka semua sepakat kalau dibandingkan dengan kopi-kopi yang pernah mereka minum, kopi semut ini memiliki rasa yang khas.
“Kopinya memiliki tingkat kemasaman yang berbeda tapi nikmat,” komentar Neto seperti yang dilansir oleh Atlas Obscura. “Walaupun saya bukanlah profesional dalam hal mencicipi kopi, saya pribadi menikmatinya.”
Hasegawa sendiri ternyata tidak puas dengan hanya sekedar meminum kopi semut ini. Untuk mencari tahu apakah kopi ini bisa laku jika dijual, ia memutuskan untuk mengambil beberapa ons biji kopi dan membawanya ke Jepang. Kebetulan Hasegawa memiliki kedai kopi bernama Cafe Paulista yang terletak di distrik Ginza, kota Tokyo.
Bukan tanpa alasan mengapa kedai kopi tersebut diberi nama demikian. Paulista adalah nama dari sebuah negara bagian di Brazil yang kerap memasok biji kopi ke Jepang. Cafe Paulista memiliki sejarah yang panjang karena kedai ini sudah berdiri sejak tahun 1911 oleh Ryo Mizuno, seorang wiraswastawan yang pernah memfasilitasi kedatangan imigran Jepang untuk bekerja di ladang kopi Brazil.
Mizuno kemudian menjual Cafe Paulista kepada kakek Hasegawa yang kemudian mewariskannya kepada cucunya. Karena kedai ini sedari dulu banyak mengimpor biji kopi dari Brazil, Hasegawa pun secara otomatis jadi memiliki hubungan dekat dengan kalangan petani kopi Brazil.
Ketika Hasegawa akhirnya tiba kembali di Jepang dan menceritakan apa yang ia temukan di Brazil kepada para barista atau penyaji minuman di Cafe Paulista, mereka beramai-ramai menunjukkan ketertarikan untuk mengolah dan merasakan sendiri kopi semut ini.
Seperti halnya anggota keluarga dan teman-teman Hasegawa di Brazil, para staf di Cafe Paulista ini juga memberikan komentar yang beragam. Sahabat anehdidunia.com salah seorang di antara mereka berkomentar kalau kopinya memiliki rasa masam yang khas, sementara sebagian lainnya berkomentar kalau kopinya terasa sedikit lebih manis. Namun secara keseluruhan, mereka menyukai rasa kopi semut ini.
Komentar positif yang ditunjukkan oleh barista di kedainya membuat Hasegawa semakin bersemangat untuk menjual kopi jenis baru ini. Namun sayang niatnya terkendala oleh realita pahit di lapangan. Karena kopi semut ini tergolong sebagai kopi jenis baru, belum ada yang memproduksi kopi ini dalam jumlah besar.
Untuk kasus Neto sendiri, alasan lain mengapa ia belum bisa memproduksi kopi semut dalam jumlah besar adalah karena ia menggunakan konsep berbasis organik dan ramah lingkungan untuk mengelola lahan kopinya. Jika ia menggunakan metode berbasis bahan kimia untuk mendongkrak jumlah produksi layaknya ladang kopi yang lain, semut-semut yang awalnya bersarang di ladangnya dikhawatirkan justru malah akan menghilang.
Neto sendiri lebih memilih untuk bersikap santai sambil memendam sikap optimis. “Siapa yang tahu jika suatu hari nanti kami bakal memiliki biji kopi (semut) dalam jumlah yang cukup untuk dijual di pasar? Jumlah semut yang ada di ladang ini semakin lama semakin banyak,” kata Neto.
Kasus semut yang memakan buah kopi sendiri ternyata sudah cukup lama diketahui di kalangan ilmuwan. Di Fiji, suatu negara kepulauan yang terletak di tengah-tengah Samudera Pasifik, semut dari spesies Phildris nagasau diketahui mengumpulkan biji kopi, menanamnya, dan melindunginya supaya biji kopi tersebut tumbuh menjadi tanaman kopi yang kelak bisa menjadi sumber makanan bagi koloni semut.
Credit referensi :
https://www.atlasobscura.com/articles/do-ants-like-coffee