Misteri Batu Polonnaruwa, Bukti Adanya Kehidupan di Luar Bumi?
Bumi jika diumpamakan bak butiran pasir di tengah-tengah pantai. Pasalnya di alam semesta yang sangat luas ini, bumi hanyalah setitik planet kecil di antara benda-benda angkasa lain yang ukurannya lebih besar. Di Tata Surya saja misalnya, masih ada planet-planet lain yang berukuran lebih besar dari bumi seperti Yupiter dan Saturnus.
Meteorit via mysteriousuniverse.org |
Kasus yang terjadi di akhir tahun 2012 ini menjadi contoh mengenai bagaimana manusia mencoba mencari jawaban atas teka-teki kehidupan di luar bumi. Pada tanggal 29 Desember 2012, sebuah meteorit dikabarkan jatuh di suatu sawah dekat kota Polonnaruwa, Sri Lanka. Begitu kabar mengenai jatuhnya meteorit tersebut menyebar, orang-orang pun beramai-ramai mendatangi lokasi jatuhnya meteorit.
Meteorit Srilanka via mysteriousuniverse.org |
Wickramasinghe dan para koleganya berani mengeluarkan pernyataan macam itu setelah mereka melakukan pemindaian secara seksama dengan memakai mikroskop elektron. Berdasarkan pemindaian tersebut, mereka menemukan adanya jejak aneh yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Jejak yang dimaksud di sini adalah adanya fosil plankton nabati (fitoplankton) yang mengendap pada meteorit.
“Kami menyimpulkan kalau teridentifikasinya fosil diatom (sejenis plankton nabati) di meteorit Polonnaruwa memiliki dasar yang kuat dan tidak perlu diragukan lagi,” kata Wickramasinghe dalam jurnal hasil penelitiannya yang dimuat di Journal of Cosmology. Ia juga mengklaim kalau penemuan meteorit ini membuktikan kalau teori panspermia (teori kalau kehidupan di bumi berasal dari luar angkasa melalui perantaraan meteorit) memang benar adanya.
Keluarnya klaim tersebut jelas langsung mengundang kegaduhan di kalangan akademisi. Pasalnya sebelum ini belum ada yang bisa memberikan bukti meyakinkan mengenai asal-usul kehidupan di bumi dari sudut pandang ilmiah. Pun mengenai apakah memang benar organisme yang ada di bumi berasal dari luar angkasa.
Patrik Kociolek adalah salah satunya. Pakar diatom tersebut berpendapat kalau keberadaan plankton nabati di meteorit tidak lantas menunjukkan kalau planktonnya pasti berasal dari luar angkasa. Ia berargumen kalau diatom yang ditemukan di meteorit aslinya adalah diatom yang hidup di bumi dan kemudian menempel di meteorit saat meteoritnya jatuh ke air.
“Kenapa organisme yang berasal dari luar angkasa bisa berkembang menjadi seperti spesies yang hidup di lingkungan berbeda? Dan bagaimana spesiesnya bisa menunjukkan kemiripan luar biasa dengan spesies yang hidup di bumi? Kita bisa berpendapat kalau jawabannya adalah karena makhluk yang menempel di meteoritnya merupakan hasil pencemaran,” kata Kociolek.
Menerima kritikan seperti itu, tim ilmuwan pimpinan Wickramasinghe jelas tidak tinggal diam. Mereka balik membela diri dengan menyatakan bahwa alga yang mereka temukan di meteoritnya berada di lapisan yang terlalu dalam. Menurut mereka, jika alganya memang berasal dari perairan tempat meteoritnya jatuh, maka alganya tentu tidak akan bisa meresap sedalam itu.
Mengenai kritikan mengapa alga yang ada di meteorit memiliki wujud yang begitu serupa dengan alga yang hidup di bumi, mereka menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi akibat adanya evolusi konvergen. Dalam evolusi konvergen, meskipun dua organisme hidup di dua lingkungan berbeda, keduanya tetap akan mengalami evolusi dan metode adaptasi serupa karena kedua lingkungan tersebut memiliki kondisi yang mirip.
Wickramasinghe beserta rekan-rekannya lantas memberikan pembelaan lebih jauh dengan menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji isotop oksigen dan nitrogen, fosil yang ada di meteorit bukan berasal dari makhluk yang hidup di bumi. Tetapi mungkin berasal dari meteor yang melintas dan serpihannya jatuh ke bumi.
Meskipun tim ilmuwan pimpinan Wickramasinghe sudah memberikan pembelaan, tetap banyak yang bersikap skeptis terhadap penjelasan mereka. Bahkan ada yang berspekulasi kalau batu yang diteliti oleh Wickramasinghe dan rekan-rekannya aslinya bukanlah batu meteorit, melainkan batuan bumi biasa. Sementara pemandangan yang oleh orang-orang dianggap sebagai jatuhnya meteorit diduga hanyalah fenomena alam semisal sambaran petir.
“Mereka meneliti batunya dengan menggunakan beragam metode, namun tidak ada satu pun metode tersebut yang menunjukkan kalau batunya memang benar-benar berasal dari meteorit,” jelas pakar astronomi Phil Plait.
“Salah satu dari metode tersebut adalah analisa isotop oksigen. Pada intinya, ada beberapa isotop yang terdapat pada komponen oksigen yang stabil. Yaitu oksigen dengan 8, 9, atau 10 neutron pada inti atomnya. Pada umumnya, rasio isotop-isotop ini akan berbeda dengan batuan yang berasal dari tempat lain di Tata Surya.”
“Jika anda mengambil beberapa bongkahan batu dan mendapatkan rasionya, kemudian membandingkannya dengan batu yang berasal dari Mars misalnya, anda akan memperoleh rasio yang berbeda. Berdasarkan inilah, anda bisa menganggap kalau batu (yang diteliti oleh Wickramasinghe) adalah batuan yang berasal dari bumi,” papar Plait.
Wickramasinghe sendiri sudah melakukan penelitian isotop pada batunya dan menemukan kalau kadar isotop pada batunya tidak sama dengan isotop batuan yang lazimnya ditemukan di bumi. Namun Barbara Cohen yang bekerja di NASA merasa ragu kalau batunya memang benar berasal dari luar angkasa.
Alasan mengapa Cohen merasa ragu adalah karena saat hendak melakukan pemeriksaan pada batunya, Wickramasinghe dan rekan-rekannya tidak merendam batunya dalam cairan asam kuat untuk membersihkan lapisan karbonatnya. Pasalnya karena batunya sudah berada di luar dalam rentang waktu yang lama, maka molekul-molekul karbonat akan terbentuk di lapisan luar batunya dan kemudian mengubah kadar isotop batunya.
Namun saat Cohen membaca lembar hasil penelitian Wickramasinghe, Wickramasinghe diketahui tidak melakukan prosedur pembersihan terlebih dahulu sehingga batu yang ia teliti rentan mengalami perubahan kadar isotop akibat molekul-molekul karbonat tadi.
Mengenai klaim kalau meteorit yang diteliti Wickramasinghe mengandung jejak makhluk hidup, Plait juga memiliki bantahannya sendiri. “Tidak ada bukti kuat untuk mendukung klaim mereka (Wickramasinghe). Jadi pendapat kalau batunya adalah batu biasa yang ditemukan di lahan basah dan sudah berada cukup lama di sana sehingga kemudian batunya dipadati oleh diatom bumi merupakan pendapat yang lebih masuk akal bagi saya,” jelasnya.
Plait dalam tulisannya yang dimuat di situs Slate juga menjelaskan kalau dalam karya hasil penelitiannya, Wickramasinghe justru sama sekali tidak menggunakan metode yang bisa digunakan untuk menunjukkankalau batunya memang benar-benar berasal dari luar angkasa. Misalnya dengan cara meneliti kandungan mineral yang ada pada batunya supaya riwayat geologis batunya bisa diketahui.
Diatom Hidup ditemukan dalam sebuah meteorit |
Dengan melihat penjelasan dari masing-masing pihak, maka sulit untuk memastikan apakah memang benar meteorit tersebut mengandung bukti adanya kehidupan di luar angkasa. Sahabat anehidunia.com kalaupun batu yang diteliti oleh Wickramasinghe memang bukan berasal dari luar bumi, tetap tidak menutup kemungkinan bahwa ada bentuk kehidupan lain di luar sana. Namun perihal kapan dan bagaimana manusia kelak akan menjumpai bentuk kehidupan yang dimaksud, hanya waktu dan perkembangan teknologi manusia yang dapat menjawabnya...
referensi:
https://mysteriousuniverse.org/2019/05/the-mysterious-meterorite-of-sri-lanka/
https://slate.com/technology/2013/03/meteorite-life-claims-of-fossils-in-a-meteorite-are-still-wrong.html