Urban Death Project Mengubah Mayat Manusia Jadi Pupuk Kompos
Seperti halnya di Indonesia, orang yang baru meninggal di Amerika Serikat (AS) juga bakal dimakamkan dengan cara dikubur. Adapun selain dikubur, penduduk AS juga mengenal metode kremasi alias pembakaran mayat. Katrina Spade mencoba memberikan opsi ketiga bagi mereka yang baru saja meninggal: mengubah mayatnya menjadi kompos.
Spade sendiri tidak main-main dengan wacananya tersebut. Dengan mengusung nama Proyek Kematian di Perkotaan (Urban Death Project), Spade berencana membuka tempat perkomposan mayat pertama di Seattle pada tahun 2023. Jika segalanya berjalan sesuai rencana, tempat ini akan menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang meninggal, sekaligus menjadi tempat di mana mayat mereka bisa dimanfaatkan lagi untuk kegiatan ramah lingkungan.
“Saya rasa ada nilai-nilai dalam mendirikan tempat di mana kita senantiasa berpikir soal kematian dan perannya dalam kehidupan kita,” kata Spade seperti yang dilansir oleh Wired. Spade menjelaskan kalau tempat ini secara garis besar bisa dideskripsikan sebagai tempat pemakaman, memorial, sekaligus taman umum.
Menurut Spade, kunci supaya wacananya ini bisa sukses adalah menciptakan proses penguraian yang tepat. Untuk itulah, Spade bekerja sama dengan pakar tanah dan mendirikan bangunan berbahan semen yang bisa mewujudkan proses penguraian tersebut.
Bangunan pengurai ini bisa dideskripsikan sebagai semacam menara lumbung setinggi tiga lantai yang diisi dengan serpihan kayu. Saat pemakaman dilakukan, mereka yang menghadiri pemakaman akan memasukkan jenazah ke dalam bilik menyerupai elevator. Bilik tersebut kemudian akan diderek ke bagian atas bangunan dan dimasukkan ke dalamnya.
Ruangan tempat menaruh jenazah itu sendiri berisi serpihan kayu. Selama empat hingga enam minggu berikutnya, tubuh jenazah secara berangsur-angsur akan terurai dan bergerak dengan sendirinya ke bawah akibat semakin mengentalnya bahan-bahan yang ada di dalam menara. Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengambil bahan-bahan di bagian paling bawah menara yang sekarang sudah berbentuk menyerupai tanah.
Proses penguraian ini sendiri didasarkan pada pengalaman Lynne Carpenter-Boggs – pakar tanah asal Universitas Negeri Washington – saat dirinya melakukan pembuatan kompos memakai daging hewan ternak. Sahabat anehdidunia.com saat hewan-hewan yang digunakan oleh jurusan peternakan di universitas setempat mati, bangkainya dibawa ke semacam bilik khusus untuk diuraikan menjadi pupuk kompos.
Hanya dalam rentang waktu satu hingga dua bulan, bangkai tersebut sudah terurai. Bahkan tulang yang notabene merupakan bagian tubuh yang amat keras pun ikut mengalami pelapukan dengan memakai metode ini. Namun sebelum Spade mewujudkan idenya, belum pernah ada yang mencoba membuat kompos berbahan mayat manusia atau hewan besar dengan cara menempatkannya dalam menara.
Spade dan Carpenter-Boggs sendiri mencoba menguji coba menara pengurai jenazah ini di kompleks universitas Washington. Awalnya mereka bakal menggunakan bangkai babi untuk mengetahui efektifitas menara ini. Sesudah itu barulah mereka menggunakan jenazah manusia hasil sumbangan. Dengan cara ini, mereka berharap bisa mendapatkan informasi akurat mengenai seberapa lama waktu yang digunakan untuk menguraikan mayat manusia hingga menjadi kompos.
Dalam skema rancangan Spade, bangunan ini memiliki tinggi 7 meter dan bisa menampung enam mayat dalam waktu yang sama. Supaya mayat yang ditampung di sini bisa lebih cepat membusuk dan terurai, bangunan ini juga dilengkapi dengan semacam penyejuk udara.
Penyejuk udara ini sendiri bekerja dengan cara menghisap udara dari bagian sisi bangunan, mengalirkannya masuk ke bagian inti bangunan, lalu mengeluarkannya lewat lubang ventilasi yang sudah dipasangi dengan filter. Sahabat anehdidunia.com air dan larutan gula juga bisa dimasukkan lewat saluran yang sama supaya bakteri pengurai bisa bekerja dengan lebih optimal.
Menurut perkiraan Spade dan Carpenter-Boggs, saat campuran mayat dan materi pengurainya sudah mencapai bagian dasar menara, campurannya sudah berubah menjadi seperti tanah liat dan tidak lagi terlihat seperti mayat manusia. Sesudah itu, di ruangan yang terletak di lantai dasar menara, petugas menara yang sudah terlatih akan melakukan proses akhir supaya kompos yang keluar menjadi lebih halus dan bebas dari benda-benda semisal potongan gigi mayat.
Begitu proses pengubahan jenazah menjadi tanah kompos sudah selesai, keluarga jenazah bisa membawa pulang sebagian tanah dari menara. Namun karena mayat yang ditempatkan dalam menara bisa berjumlah lebih dari satu, tidak ada jaminan kalau tanah yang dibawa benar-benar berasal dari jenazah sanak keluarga mereka.
Spade sendiri mencoba mengesampingkan kekhawatiran tersebut. Menurut Spade, kematian seharusnya bisa dijadikan sebagai momen di mana manusia tidak lagi mementingkan rasa inndividualismenya. “Apa yang ajaib adalah kita berhenti menjadi manusia selama proses ini,” kata Spade.
“Molekul kita ditata ulang menjadi molekul lain. Dan yang tercipta tidak lagi menampilkan sosok manusia. Memberikan kembali tanah yang dibuat dari jenazah murni bersifat simbolis semata. Anggap saja jika apa yang coba kami lakukan adalah mencoba untuk mengingatkan kembali bahwa kita semua adalah bagian dari dunia besar yang alamiah ini, baiklah, nyatanya kita memang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dari diri kita sekalian,” tambahnya.
Sikap yang ditunjukkan oleh Spade tersebut nampaknya bakal menjadi batu sandungan tersendiri saat ia kelak mencoba mengajak orang-orang untuk menggunakan jasa pemakaman yang ditawarkannya. “Saya rasa ada keinginan yang sangat kuat bagi setiap keluarga untuk memiliki kendali atas jenazah anggota keluarganya,” kata sejarawan Gary Laderman dari Universitas Emory.
Meskipun begitu, Laderman menyangkal kalau metode pemakaman yang ditawarkan oleh Spade tidak akan diminati oleh siapapun. Menurutnya, akan tetap ada sejumlah orang yang berminat untuk menggunakan metode pemakaman Spade karena tertarik akan filosofi ramah lingkungannya.
Hal senada turut dikemukakan oleh James Olson, pengelola pemakaman di Wisconsin. Menurutnya, biarpun metode pemakaman yang diusulkan Spade terkesan kontroversial, pada akhirnya cara pandang publik akan berubah. Sahabat anehdidunia.com ia lantas memberi contoh kalau di masa silam, rakyat AS pada awalnya memandang praktik membakar jenazah sebagai hal yang tabu.
“Jika saya berkata kepada anda 50 tahun lalu kalau kami akan membakar jenazah orang tercinta anda pada suhu 2.000 derajat, meremukkan tulangnya memakai mesin, dan memberikan serpihannya pada anda, anda pasti akan berkata ‘Idih’,” jelas Olson kepada wartawan The New York Times.
Namun kalaupun jumlah orang yang berminat menggunakan jasa pemakaman Spade tidak begitu banyak, nampaknya hal tersebut justru malah bakal menjadi berkah terselubung. Pasalnya setiap bulannya, tempat pengolahan jenazah Spade diperkirakan hanya bisa menerima 60 mayat setiap bulannya. Terbatasnya mayat yang bisa ditampung pada gilirannya membuat fasilitas yang bersangkutan hanya bisa menggelar upacara pemakaman maksimal dua kali setiap harinya.
Spade sendiri berharap kalau di kemudian hari, semakin banyak tempat penguraian jenazah yang didirikan. Bukan hanya di AS, tapi juga di seluruh dunia. Ia juga menginginkan supaya masing-masing tempat penguraian jenazah kelak memiliki desain uniknya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, tempat penguraian jenazah yang ada di Texas seharusnya berbeda dari tempat penguraian di Tokyo, Jepang.
Selain bentuknya yang menjulang jika dibandingkan dengan tempat pemakaman biasa, tempat penguraian jenazah bakal memiliki ciri khas lain berupa dindingnya yang hangat saat disentuh. Hal ini terjadi karena saat bakteri melakukan penguraian di lingkungan yang kaya akan oksigen, proses penguraiannya turut melepaskan panas. “Anda bakal menyadari kalau di dalamnya, sedang terjadi sesuatu yang besar,” ujar Spade.
referensi:
https://www.wired.com/2016/10/inside-machine-will-turn-corpse-compost/
https://www.nytimes.com/2015/04/14/science/a-project-to-turn-corpses-into-compost.html